Suatu ketika, saat Sayyidina Hasan dan
Sayyidina Husain (yang saat itu masih anak-anak) melihat seorang kakek
yang sedang berwudhu dengan cara yang salah. Muncullah keinginan dari
kedua cucu Rasulullah SAW ini untuk bisa mengingatkan orang tua
tersebut, agar amal ibadahnya benar tanpa menyinggung perasaanya.
Kemudian Sayyidina Hasan bersepakat dengan Sayyidina Husain untuk berlomba wudhu dan menjadikan sang kakek sebagai juri yang akan menilai kebenaran wudhu mereka. Lomba berwudhu pun dimulai. Dan di akhir perlombaan tersebut, sang kakek pun tersadar bahwa wudhu Sayyidina Hasan dan Husain ternyata lebih benar dan sempurna dari wudhunya sendiri.
Ini adalah pelajaran dakwah dari cucu Rasulullah SAW, dengan menyertakan kemuliaan akhlak dan tatakrama dalam mengingatkan orang lain khususnya orang yang lebih tua.
Sahabatku, mengingatkan orang lain artinya kita mengajak orang lain agar bisa lebih baik dan benar, bukan untuk menghukuminya sebagai yang salah dan terhinakan. Melihat orang lain dengan penuh kasih sayang dan menghargainya adalah pancaran ketulusan seorang penyeru kebaikan. Dari situlah kejayaan dihadapan Allah SWT akan diperoleh. Pembelajaran ini sangat tepat bagi Juru dakwah termasuk di dalamnya adalah Ustadz dan Kyai.
Disaat seseorang menyampaikan kebaikan haruslah ia melihat dirinya sebagai yang membutuhkan pahala dan penghargaan dari Allah SWT dibalik upaya dakwahnya sebelum melihat kepada orang lain sebagai orang yang membutuhkan kepada ajakannya. Makna "membutuhkan" inilah yang menjadikan seseorang tidak kenal putus asa dalam mengenalkan kebaikan kepada orang lain. Hingga ia senantiasa mengambil cara yang paling indah agar ajakannya bisa diterima oleh orang lain sebagai perwujudan makna hikmah yang diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW yang sekaligus harus kita ikuti.
Sahabatku, Sayyidina Hasan dan Sayyidia Husain dalam usianya yang masih amat dini ini sangat paham makna hikmah berdakwah, karena mereka adalah cucu dari sumber hikmah, Rasulullah SAW. Beliau berdua tidak ingin menyakiti hati orang tua tersebut dengan "salah menegur" saat sang kakek salah dalam berwudhu. Maka dengan ketulusan dan kerendahan hati, mereka berperan sebagai orang yang ingin benar didalam berwudhu padahal sebenarnya mereka ingin membenarkan wudhu orang lain.
“Alangkah mulianya akhlakmu wahai cucu Rasulullah SAW…”. Dan alangkah indahnya siapapun yang ingin mengajak kepada kebaikan lalu mengajak dengan penuh kasih dan ketawadhuan. Sungguh dakwah bukanlah pamer ilmu atau bangga akan sebuah gelar. Akan tetapi dakwah harus berangkat dari keindahan menuju keindahan dan dengan cara yang indah.
Dan setelah itu, mari kita bercermin, sadar diri dan mencermati diri dan di sekitar kita! Dimana hikmah dan akhlak kita saat mengajak orang lain kepada kebaikan? Bisakah menuai hasil jika mulut dan lidah kita tidak luput dari kalimat cacian dan penghinaan terhadap orang yang kita anggap salah ? Dimana kasih sayang dan kerinduan kita untuk merindukan orang lain kepada Allah SWT? Jangan sampai ajakan kita kepada Allah berubah menjadi ajakan kepada diri sendiri atau kelompok. Bisakah orang lain rindu kepada Allah jika yang mengajak bukanlah orang yang merindukan Allah SWT? Dari kerinduan kepada Allah inilah akan hadir ajakan yang dirindukan dan penuh kasih untuk menghantarkan hamba-hamba Allah kepada kerinduan kepada Allah SWT yang sesungguhnya..
Wallahu a'lam bisshowab.
Kemudian Sayyidina Hasan bersepakat dengan Sayyidina Husain untuk berlomba wudhu dan menjadikan sang kakek sebagai juri yang akan menilai kebenaran wudhu mereka. Lomba berwudhu pun dimulai. Dan di akhir perlombaan tersebut, sang kakek pun tersadar bahwa wudhu Sayyidina Hasan dan Husain ternyata lebih benar dan sempurna dari wudhunya sendiri.
Ini adalah pelajaran dakwah dari cucu Rasulullah SAW, dengan menyertakan kemuliaan akhlak dan tatakrama dalam mengingatkan orang lain khususnya orang yang lebih tua.
Sahabatku, mengingatkan orang lain artinya kita mengajak orang lain agar bisa lebih baik dan benar, bukan untuk menghukuminya sebagai yang salah dan terhinakan. Melihat orang lain dengan penuh kasih sayang dan menghargainya adalah pancaran ketulusan seorang penyeru kebaikan. Dari situlah kejayaan dihadapan Allah SWT akan diperoleh. Pembelajaran ini sangat tepat bagi Juru dakwah termasuk di dalamnya adalah Ustadz dan Kyai.
Disaat seseorang menyampaikan kebaikan haruslah ia melihat dirinya sebagai yang membutuhkan pahala dan penghargaan dari Allah SWT dibalik upaya dakwahnya sebelum melihat kepada orang lain sebagai orang yang membutuhkan kepada ajakannya. Makna "membutuhkan" inilah yang menjadikan seseorang tidak kenal putus asa dalam mengenalkan kebaikan kepada orang lain. Hingga ia senantiasa mengambil cara yang paling indah agar ajakannya bisa diterima oleh orang lain sebagai perwujudan makna hikmah yang diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW yang sekaligus harus kita ikuti.
Sahabatku, Sayyidina Hasan dan Sayyidia Husain dalam usianya yang masih amat dini ini sangat paham makna hikmah berdakwah, karena mereka adalah cucu dari sumber hikmah, Rasulullah SAW. Beliau berdua tidak ingin menyakiti hati orang tua tersebut dengan "salah menegur" saat sang kakek salah dalam berwudhu. Maka dengan ketulusan dan kerendahan hati, mereka berperan sebagai orang yang ingin benar didalam berwudhu padahal sebenarnya mereka ingin membenarkan wudhu orang lain.
“Alangkah mulianya akhlakmu wahai cucu Rasulullah SAW…”. Dan alangkah indahnya siapapun yang ingin mengajak kepada kebaikan lalu mengajak dengan penuh kasih dan ketawadhuan. Sungguh dakwah bukanlah pamer ilmu atau bangga akan sebuah gelar. Akan tetapi dakwah harus berangkat dari keindahan menuju keindahan dan dengan cara yang indah.
Dan setelah itu, mari kita bercermin, sadar diri dan mencermati diri dan di sekitar kita! Dimana hikmah dan akhlak kita saat mengajak orang lain kepada kebaikan? Bisakah menuai hasil jika mulut dan lidah kita tidak luput dari kalimat cacian dan penghinaan terhadap orang yang kita anggap salah ? Dimana kasih sayang dan kerinduan kita untuk merindukan orang lain kepada Allah SWT? Jangan sampai ajakan kita kepada Allah berubah menjadi ajakan kepada diri sendiri atau kelompok. Bisakah orang lain rindu kepada Allah jika yang mengajak bukanlah orang yang merindukan Allah SWT? Dari kerinduan kepada Allah inilah akan hadir ajakan yang dirindukan dan penuh kasih untuk menghantarkan hamba-hamba Allah kepada kerinduan kepada Allah SWT yang sesungguhnya..
Wallahu a'lam bisshowab.
Oleh : Buya Yahya
Pengasuh LPD Al-Bahjah
www.buyayahya.org – www.buyayahya.com – www.radioquonline.com
Pengasuh LPD Al-Bahjah
www.buyayahya.org – www.buyayahya.com – www.radioquonline.com
Silahkan download mp3-nya di :
http://ceramahbuyayahya.wordpress.com/category/oase-iman/
http://ceramahbuyayahya.wordpress.com/category/oase-iman/
Klik untuk melihat kode: :) =( :s :D :-D ^:D ^o^ 7:( :Q :p T_T @@, :-a :W *fck* x@